Oleh: Anur Al Hadyd
Tahun berganti, angin malam berembus perlahan. Malam itu, saya memandangi kembang api yang memancar indah, sambil mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan dan berkat yang telah diberikan, serta atas pertemuan dengan tahun yang baru untuk membuka lembaran baru.
Sembari itu, saya mengirim pesan untuknya—ia yang membuat saya jatuh, jatuh tanpa ragu ke dalam hatinya. Sebuah pesan yang berisi doa dan harapan, doa yang mengalir, untuk mengiringi setiap langkah-langkahnya.
Banyak hal telah terlewati di sepanjang tahun, meninggalkan sebuah jejak untuk sebuah pelajaran. Dalam setiap langkah, saya bersyukur atas kehadiran mereka—keluarga, teman, dan orang-orang yang selalu punya peran dalam hidup saya.
Mereka adalah kekuatan di balik setiap perjalanan, dan pengingat bahwa bagaimanapun, hidup selalu patut untuk disyukuri.
Dan di antara itu, untuknya—ia yang kehadirannya mewarnai hari saya, seperti pelukis yang melukis di atas kanvas. Ia menggoreskan titik demi titik, garis demi garis, hingga tercipta sebuah gambar yang penuh warna, seindah bunga matahari.
Dalam setiap langkah hidupnya, semoga keindahan, kebahagiaan, kesehatan selalu menyertai dan hal-hal baik selalu menghampirinya.
Hidup adalah sebuah perjalanan, sementara tulisan adalah jejak abadi yang mencoba menangkap esensinya. Namun, seindah apa pun kata-kata, tak akan mampu benar-benar menggambarkannya. Seperti ungkapan penyair Persia, Jalaluddin Rumi, "Jika cinta datang, pena-pena akan patah."
Dan lagi-lagi, malam menjadi kanvas terbaik untuk mengenangnya. Ia adalah doa yang terus berulang, mengalir tanpa lelah dalam setiap harapan yang saya titipkan kepada semesta. Semoga hari-harinya selalu dipenuhi terang.
Dan di ujung malam, diiringi suara letupan kembang api yang menghias langit, saya berbisik pelan, "Tuhan, jaga ia, biarkan dunia selalu ramah padanya, dan tuntun langkahnya menuju bahagia. Jika Engkau berkehendak, simpanlah cintanya untuk saya."